PUISI : ADA

  ADA Buliran bening Mencari teman Ketik sana Ketik sini Teriakan diam Berusaha sekali dipendam Ego itu ingin menang Nurani kembali pulang Tak berganti Efek mengurung diri Gagal mengurus diri Tersisa hanya benci tak berhenti Genggaman pasir Dirinya berdiri tanpa getir Ikhlaskan hati Dipaksa agar tak terulangi Semuanya pulang Dan biarkan Mereka menang Sedang aku kelaparan 209 -h

CERPEN : HARUSKAH?

HARUSKAH?
iampiani

Alunan musik mengudara di setiap sudut cafe. Berbagai manusia dengan status sosial yang mereka miliki berkumpul di tempat minuman beraroma sedap itu. Tawa, candaan, serta tetek bengek lainnya yang membuat cafe itu terlihat sangat sibuk.

Tetapi, disana, di sudut cafe, terdapat sepasang insan yang saling diam. Tak ada obrolan dan tak ada candaan, mereka diam seperti kawan yang sudah tak lama bertemu.

            “Hai,” sapa perempuan itu canggung. Dia mengetuk jarinya ke meja cafe. Pria di depannya hanya tersenyum dan tetap menatap layar biru. “Sudah lama sekali ya..tidak bertemu.” ucap perempuan itu lagi.

Pria itu langsung menatap perempuan itu. Tatapan itu sangat dalam, menandakan terdapat sejuta kerinduan yang belum pernah tersampaikan. Jantung mereka berdegup sangat kencang melebihi rossi yang mengendarai motornya.

            “Saya...” ucap pria itu menggantung membuat perempuan itu menatapnya lebih dalam. “.....Boleh saya peluk kamu?” tanyanya yang sukses membuat perempuan itu terdiam.

Tatapannya, tetap membuat siapapun akan merasa sejuk. Bulu mata yang lentik dengan alis yang tebal. Tiba-tiba pria itu kembali menunduk ketika melihat jawaban perempuan itu yang menandakan ‘Tidak’

            “Bagaimana kabarmu?” tanya perempuan itu dan sukses membuat sedikit amarah muncul dari wajah pria itu.

            “Apa maumu?” tanyanya

            “Kamu tidak pernah berubah, Bran, aku hanya---“ ucapan perempuan itu terpotong

            “Sudah saya katakan, jangan pernah menanyakan hal seperti itu kepada saya!” ucap Gibran dengan sedikit meninggi. Perempuan itu terdiam, lalu tiba-tiba Gibran menutup matanya dan menghembuskan nafas. “Saya minta maaf, Ta, saya...tidak bermaksud” ucapnya dan langsung dijawab Mita oleh gelengan. “Saya mohon, Ta, bicarakan saja hal yang ingin kamu katakan. Tak usah basa-basi.” ucap Gibran

            “Kenapa kamu merubah dirimu seperti pria idamanku? Kenapa kamu sangat sensitif ketika aku membicarakan lelaki lain di hadapanmu? Kenapa kamu mau melakukan hal apa saja ketika aku tidak bisa? Kenapa kamu meninggalkanku ketika di hari perpisahan SMA? Kenapa kamu menghapus diriku dari hidupmu?” tanya Mita dengan air mata yang ditahan

            “Karena saya mencintai kamu,” ucapnya dengan menatap Mita dalam.

Jatuh sudah, air mata yang sudah di bendungnya harus jatuh di pipinya. Mita tak pernah menyadari, bahwa Gibran, sahabatnya sendiri yang mencintai diri Mita begitu dalam. Melindungi Mita disaat Mita sedih, mendukung Mita walaupun Mita terkadang payah dalam mendukung dirinya sendiri.

            “Jangan menangis Mita, saya sudah tidak bisa menghapus air mata itu lagi,” ucap Gibran dengan halus.

            “Kenapa kamu tidak bilang?!” ucap Mita lagi dan menghapus air matanya. Kini ia menatap Gibran, terlihat wajah Gibran yang sangat menahan air matanya. Gibran tetap terdiam mendengar pertanyaan dari Mita. Dia tak tahu harus menjawab apa. “Kenapa terdiam, Gibran?” tanya Mita lagi dengan suara yang halus

            “Saya....Tidak bisa.” ucap Gibran pelan

Alunan musik kafe membuat suasana tidak begitu tegang, ditambah suara bising orang-orang yang sedang mengobrol membuat pembicaraan mereka sulit di dengar orang lain. Beruntungnya orang-orang juga tidak menyadari bahwa Mita menangis.

Mereka adalah sahabat sejak di bangku SMP. Seperti kata pepatah lainnya, jika bersahabat dengan lawan jenis, maka salah satunya akan jatuh cinta. Dan itulah yang terjadi kepada mereka berdua, Gibran menjatuhkan hatinya kepada sahabatnya sendiri. Mita sama sekali tidak menyadari bahwa orang yang mencintainya dengan dalam adalah sahabatnya sendiri.

Gibran memilih meninggalkan Mita ketika mereka baru saja akan perpisahan sekolah. Tak ada foto, bahkan, saat itu juga Gibran langsung memilih pergi tanpa memberikan aba-aba.

Gibran pergi akibat kecelakaan mengenaskan ketika Gibran sedang dijalan menuju gedung perpisahan SMA. Gibran benar-benar membuat Mita merasakan perpisahan yang sebenarnya. Darah Gibran akan selalu menempel pada hati Mita dan juga buku diary Gibran yang penuh akan diri Mita.

Mita, saya mencintai kamu sejak getaran tak menyenangkan itu muncul ketika melihat kamu bersama orang lain. Mita, kamu terlalu sempurna untuk saya yang tak ada apa-apanya dibandingkan pria yang selalu kau banggakan. Maafkan saya, saya selalu cuek ketika kau bercerita tentangnya. Saya tidak suka, saya tidak suka jika senyum indahmu harus dibagi, saya tak suka jika harus orang lain yang menghapus air mata hangatmu itu. Mita, entah untuk keberapa kalinya saya harus berusaha mati-matian agar menjadi sesuatu dimatamu. Saya berusaha hingga kau lupa kalau saya sedang berusaha. Mita, saya mencintai kamu hingga rasa cinta itu hanya bisa saya katakan ke dalam diri saya. Mita, haruskah semua hal ini saya katakan kepadamu?

Gibran,

23 Juli 2020

Itulah sekiranya tulisan terakhir yang Gibran tulis tepat malam sebelum hari perpisahan. Buku itu ia dapatkan ketika orang tua Gibran menyuruh Mita agar membantu mereka untuk pindah rumah. Orang tua Gibran sangat terpukul ketika nyawa anaknya sudah pergi terlebih dahulu, dia tak mau bayangan Gibran selalu terngiang-ngiang di sekitar rumah.

Dan soal di cafe tadi, Mita hanya berbicara sendiri. Lagi. Dan untuk 2 tahun lamanya, dia tetap belum ikhlas bahwa sahabatnya sudah pergi. Dan kenapa dia berbicara sendirian di cafe itu? Karena itulah tempat terakhir yang mereka kunjungi dengan bunyi tawa dan juga canda.

            “Ya tuhan, haruskan aku menyusul Gibran juga?” tanya Mita pelan kepada dirinya sambil tersenyum sinis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI : ADA

PUISI : TENGGELAM